#TheJourneyToXinjiang
✍🏻 Ustd. @Umaierkhaz
KOTA BISU
"Kamu Uyghur?" tanya kami kepada sopir Uyghur di perjalanan menggunakan taksi menuju pusat kota setelah mendarat di Bandara Kasghar, Xinjiang. Tak ada jawaban. Ketika kami ulang bertanya, ia malah mengeraskan suara radio dan pura-pura tidak mendengar. Akhirnya, tidak kami lanjutkan pertanyaan tersebut.
Sampai di hotel, kami harus melewati pemeriksaan tiga polisi dengan metal detectornya. Di lobby hotel saja ada 3 CCTV yang menyala. Saya tidak tahu, apakah semua milik hotel atau yang lain. Ketiganya mengarah ke arah yang sama. Di resepsionis pun kami cukup lama, resepsionis harus menelpun pihak berwajib untuk melaporkan kedatangan kami, nama dan identitas di visa kami.
Esok harinya, kesempatan berharga untuk berkeliling di Kota Kasghar. Kami naik taksi, dan lagi-lagi tidak ada satupun dari sopir yang mau berbicara dengan kami. Semua membisu. Tak ada senyum di sepanjang jalan, yang ada hanya tatapan mata Uyghur yang menyimpan sesuatu. Saya baru tahu ternyata ada peraturan yang melarang mereka berinteraksi dengan orang asing.
Subuh di Kasghar pukul 09.00. Kami baru bisa makan pukul 16.00 setelah kami sedikit putus asa mencari kepada siapa kami harus bertanya tentang keadaan mereka. Sampailah kami di sebuah rumah makan tradisional milik Uyghur. Salah seorang diantara kami kehabisan baterai hp. Harus mencari colokan untuk men-charge-nya. Ketika bertanya ke kasir adakah colokan, kasir Uyghur mempersilahkan lalu berbisik dengan Bahasa Cina yang terbata-bata "Dari mana kalian?"
"Dari Indonesia. Kami di Indonesia sangat mencintai kalian."
"Apakah kamu muslim?" bisiknya lagi.
"Ya kami muslim."
"Apakah kamu bisa shalat di negerimu? Kami di sini tidak bisa." terangnya pelan, kemudian melanjutkan pekerjaannya seakan tak ada pembicaraan sebelumnya.
Kalimat singkat dari lisan Uyghur yang kami cari seharian akhirnya keluar. Walaupun setelahnya ia tak menyapa lagi.
Mereka seakan begitu ketakutan, CCTV ada di mana-mana. Di dalam taksi saja ada 2 CCTV kadang 3. Di jalan-jalan setiap berapa meter ada CCTV.
Ya Allah, ampuni kami yang tak bisa berbuat apapun untuk saudara kami Uyghur selain memohon kepadaMu.😭
DILARANG
Malam pertama di Kasghar, yang pertama kali saya cari di gugel map adakah masjid yang tersisa di Kasghar. Di kota dengan penduduk 80 persen muslim, saya hanya menemukan dua masjid. Seperti yang diberitakan BBC, ribuan masjid telah dilenyapkan di Xinjiang, terutama di Kasghar. Berapapun jumlahnya yang ada, saya tetap akan kunjungi. Saya ingin membuktikan apakah benar-benar shalat dilarang di kota ini.
Dua masjid itu, yang pertama tentu Id Kah Mosque, masjid terbesar di China dan Asia Tengah. Masjid ini adalah masjid kebanggaan Masyarakat Uyghur. Yang kedua, Ping'an Mosque (akan saya bahas di tulisan selanjutnya).
Setelah Subuh di hotel, kami berangkat ke Id Kah. Semenjak dari Indonesia, saya ingin sekali memberanikan diri shalat di rumah Allah ini apapun resikonya. Karena saya mendengar bahkan turis pun dilarang shalat di Bumi Kasghar.
Sampailah kami di pintu gerbang depan. Ternyata masuk ke masjid ini harus membayar tiket seharga 45 yuan (90 ribu rupiah) per kepala. Sampailah kami di sebuah komplek megah nan luas dikelilingi pepohonan. Saya berjalan menuju bangunan utama. Bangunan yang dibangun sejak tahun 1442 M itu sudah tidak terurus lagi. Karpetnya berdebu, berlubang, dan lusuh, serta kubah masjid yang hilang.
Saat melepas sepatu dan masuk, petugas meneriaki saya. Saya dilarang menginjakkan kaki saya karpet masjid, hanya boleh di batas karpet merah. Di ruangan utama pun tidak boleh sembarang menginjak kecuali karpet berwarna beda. Kami hanya diperbolehkan masuk ke ruangan utama bersama pemandu yang bukan muslim. Dan lagi-lagi CCTV di mana-mana.
Saya memberanikan diri untuk shalat tahiyyatul masjid. Sontak si pemandu melarang, "Kamu tidak boleh ibadah di sini, hanya ada waktu-waktu tertentu ibadah di sini."
Ya Allah, ini rumahMu. Bahkan hanya untuk masuk saja kami harus membayar. Bahkan hanya untuk shalat sunnah di dalamnya saja kami dilarang. Jika kami pendatang saja dihalangi, bagaimana dengan saudara kami Uyghur. 😭
TIDAK BAIK-BAIK SAJA
Dilarang di Id Kah, kami tidak menyerah mencari masjid lain yang masih berdiri. Kami masuk ke kota tua Kasghar di sekitaran Id Kah. Suhu siang itu mencapai -4°C. Sangat dingin. Lagi-lagi saudara Uyghur hanya melihati kami menyimpan sesuatu yang ingin sekali mereka ungkapkan. Mereka sedang tidak baik-baik saja. Dan saya baru sadar, tak ada satupun muslimah Uyghur di kota ini yang mengenakan jilbab.
Sampailah kami ke sebuah bangunan masjid. Setelah kami mendekat, ternyata masjid tersebut digembok rapat. Kami coba melirik di sela lubang ke dalam bangunan. Sudah tak terurus lagi. Sepi dari keramaian. Sampai akhirnya kami tahu, masjid ini tak diratakan karena terhubung dengan bangunan-bangunan lain di kota tua yang sekarang dijadikan pusat objek wisata oleh pemerintah.
Kami berjalan cukup jauh, sampai akhirnya kami putuskan untuk kembali naik taksi. Seorang uyghur menjadi supir kami. Kami arahkan ia melalui GPS Baidu (aplikasi yang dipakai di negeri ini) menuju ke masjid kedua yang terdetect di gugel map. Jarak tempuhnya cukup jauh kurang lebih 15 km. Masuk ke pedesaan. Ketika tiba, kami bertanya kepada warga setempat adakah masjid di sini. Sebagian mengacuhkan kami, karna tahu kami orang asing. Sebagian lain menggelengkan kepala. Akhirnya setelah berkeliling kami mendapatkan masjid tersebut. Digembok. Tak bisa digunakan.
Kami pun kembali ke taksi yang telah kami minta untuk menunggu sebentar, karna tidak ada lagi taksi di situ. Jauh dari jalan kota. Sopir Uyghur tersebut setelah tahu kami mencari masjid, ia berkata, "Saya mau pulang sekarang, turunlah." Dia mendadak ketakutan. Kamipun membujuk dia untuk mengantarkan kami ke pusat kota.
Di jalan kami kembali bertanya, adakah masjid di sini? Dia menyibukkan diri melihat spion mobil. Akhirnya kami kembali ke hotel yang telah kami check out-kan (hanya titip koper di resepsionis) karna kami hari itu ingin langsung berpindah ke kota lain di Xinjiang.
Tidak ada tempat sholat. Padahal kurang 1 jam lagi waktu Maghrib tiba. Sedang kami belum Shalat Dhuhur dan Ashar. Tidak ada pilihan lain, kami menyewa kembali kamar hotel dengan harga 120 yuan (untuk 4 jam) agar bisa mengerjakan sholat.
Sekali seumur hidup saya, shalat 4 waktu (Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya) saya kerjakan di waktu yang hampir berbarengan karna kesulitan mencari mushalla. Dalam shalat, rasanya ingin berlama-lama bersujud dan ber-rukuk menghadap Allah. Betapa sulitnya menegakkan shalat di kota mayoritas muslim ini.
Tangisan saya pecah ketika mengimami shalat Maghrib saat melantunkan ayat "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". Ya Allah hanya kepadaMu kami menyembah dan memohon pertolongan. Ampuni kami yang kufur atas kenikmatan shalat berjamaah di masjid. Ampuni kami yang sering lalai menyambut panggilan shalatMu. Ampuni kami yang sering malas bersimpuh bersujud di hadapanMu di shalat fardhu, dhuha, dan tengah malam padahal kami bebas mendirikannya.
Ampuni kami ya Rabb.😭
#TheJourneyToXinjiang
🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴
👥 YUK TERUS IKUTI DAKWAH ROHIS SMKN 8 & TERUS SEBARKAN KEBAIKAN MELALUI :
📲 Instagram : @rohis.tsamaniyah
📩 Line : @xkh6797s
🌐 Web : http://badr8jkt.blogspot.com/?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar